top of page

Di Halmahera, Tanah Menangis dalam Diam


Perjuangan masyarakat Halmahera
Perjuangan masyarakat Halmahera


Di antara gemuruh alat berat yang meraung sejak fajar, di bawah bayang-bayang ekskavator yang mencabik-cabik bumi, dan di tengah debu nikel yang menggantung di udara seperti kabut kutukan—ada sepotong tanah yang dulu hijau, kini perlahan menjadi abu.

Halmahera, namanya. Pulau besar di timur Indonesia, tempat hutan pernah menyanyi dan laut pernah berbicara. Tempat Kali Sangaji—sungai Sangai yang agung—mengalir memisah desa Soagimalaha dan Maba Sangaji, menjadi nadi kehidupan yang turun-temurun dijaga dengan hati.


Air menjadi keruh
Air menjadi keruh

Kini, air itu keruh. Lumpur dan sedimentasi menutup dasarnya yang dulu bening. Hutan-hutan yang dulu perawan kini tersayat dalam senyap. Pesona pesisir direnggut oleh raksasa-raksasa industri tambang, yang datang membawa janji emas tapi menanam luka. Di balik slogan investasi dan pembangunan, rakyat justru kehilangan: tanah, air, udara—dan perlahan, harapan.


Perusahaan-perusahaan tambang datang dengan bendera kemajuan. Mereka bicara tentang pekerjaan, ekonomi, dan masa depan. Tapi di balik setiap kata “kemajuan”, ada jejak kemunduran: bukit-bukit digunduli, sungai tercemar, masyarakat tercerai.


Tanah dijual dengan harga yang bahkan lebih murah dari seliter bensin—dua ribu hingga sepuluh ribu rupiah. Nilai yang tak sebanding dengan darah leluhur yang pernah ditumpahkan untuk mempertahankan tanah itu.


Perusahaan meraup untung miliaran, warga hanya memegang kuitansi dan segenggam abu warisan.


Dialog warga dengan aparat kepolisian
Dialog warga dengan aparat kepolisian

Mengapa mereka menjual?

Bukan karena tamak. Tapi karena tak ada pilihan. Karena janji kesejahteraan yang terus disuarakan para elite lokal seperti doa kosong, mengikis perlahan keyakinan bahwa tanah ini masih milik mereka. Karena ketika perut kosong dan janji-janji datang tiap hari, siapa yang masih kuat bertahan?


Dan para pejabat? Terkunci. Terdiam. Seperti tersandera oleh kontrak-kontrak yang ditulis jauh dari Halmahera, di kantor-kantor yang sunyi dari suara rakyat.

Bahkan untuk sekadar marah pun, mereka seperti tak diberi ruang.

Hanya bisa menyaksikan. Hanya bisa membisu.


Dan ketika ada yang berani bicara—berani bersuara—hukuman pun datang seperti petir yang tak pernah berhenti.

Warga yang menolak tambang dicap pengganggu pembangunan.

Yang memblokade jalan tambang, dijemput paksa.

Yang menolak menjual tanah, dipanggil aparat.


Kriminalisasi menjadi bahasa baru yang digunakan perusahaan dan aparat negara untuk mengubur perlawanan. Satu-satu warga diintimidasi, dilaporkan, diadili—sementara para pemodal minum teh bersama pejabat di ruang berpendingin.


Perlawanan dianggap kejahatan.

Sikap kritis dianggap ancaman.

Suara rakyat dikerdilkan, dianggap gangguan dalam jalannya “investasi strategis nasional.”


Dan para elit politik? Mereka tahu. Tapi diam.

Mereka melihat. Tapi tak bergerak.

Mereka duduk di kursi kekuasaan yang empuk, dibeli oleh pajak yang sama dari rakyat yang tanahnya dirampas dan suaranya dikriminalisasi.


Di hutan belantara hutan sangaji orang-orang menyaksikan ekskavator lewat seperti menonton pemakaman. Bukan satu nyawa, tapi seluruh masa depan.

Anak-anak tumbuh dalam bayang-bayang tambang, bukan lagi hutan. Sungai yang dulu tempat bermain, kini menjadi sungai yang ditunjuk dengan sedih—“dulu di situ kita mandi.”


Apa daya rakyat? Melawan bagaimana? Ketika media diam, ketika hukum memihak kekuasaan, ketika suara dibeli dan dibungkam?


Tapi di sana, di antara ladang yang retak dan rumah-rumah yang mulai kehilangan tanah pijaknya, masih ada sisa perlawanan. Diam. Tapi ada.


Ia berdenyut di dada pemuda yang memotret dengan ponsel tua, meski tahu tak ada yang akan mempublikasikannya.

Ia berdiri dalam doa-doa sunyi di malam hari, dan dalam bisikan leluhur yang berkata: “Tanah bukan milikmu untuk dijual—ia adalah titipan.”


Halmahera tidak miskin. Ia dijadikan miskin. Ia bukan tak tahu apa yang terjadi—ia hanya tak tahu bagaimana menghentikannya.


Dan kita, yang jauh dari sana, jangan hanya diam. Karena setiap gram nikel yang membangun mobil listrik dan pabrik di kota besar, bisa jadi berasal dari satu hektar hutan yang musnah. Setiap kemajuan yang kita rayakan, bisa jadi adalah kehilangan yang tak pernah diberi tempat dalam berita.


Warga Halmahera jadi korban atas perjuangan
Warga Halmahera jadi korban atas perjuangan

Halmahera sedang berteriak—dengan suara yang tak terdengar. Tapi jika kita mau mendengar, kita akan tahu:

Bahwa sungai Sangaji tidak hanya mengalirkan air, tapi juga cerita—tentang bagaimana tanah bisa hilang bukan karena perang, tapi karena kesepakatan yang dipaksakan.


Tentang bagaimana masyarakat bisa diam bukan karena bodoh, tapi karena terlalu sering dikhianati.

Dan tentang bagaimana negara bisa berpihak, tapi justru berpaling.


Mungkin suatu hari, sejarah akan menuliskan ini:

Bahwa di sebuah pulau timur Indonesia, rakyat pernah menyerahkan tanahnya demi harapan, tapi yang datang adalah kehancuran. Dan bahwa kehancuran itu—bukan karena mereka lemah. Tapi karena yang datang terlalu kuat, terlalu licik, dan terlalu dilindungi.


Tapi selama masih ada yang mengingat bagaimana Kali Sangaji pernah jernih,

selama masih ada yang menolak menjual pusaka walau perut lapar,

masih ada yang bisa diperjuangkan.


Halmahera belum kalah. Ia hanya sedang terdiam.

Dan dari diam itu, bisa tumbuh kembali perlawanan—yang lahir bukan dari amarah, tapi dari cinta pada tanahnya sendiri.

1 Comment


Menyala pak 🔥🔥

Like
bottom of page