Nafas Terakhir di Tengah Gemuruh: Tragedi Konser BESIDE di AACC Bandung
- Sunu Probo Baskoro
- 19 jam yang lalu
- 2 menit membaca

Oleh: [M Sunu Probo Baskoro]
Bandung, 9 Februari 2008 — Musik keras menggema di dalam sebuah gedung tua di jantung Kota Bandung, membelah riuhnya malam dengan dentuman bass dan jeritan gitar. Di atas panggung, band metalcore lokal BESIDE tengah menyalakan semangat ratusan penonton yang memadati Gedung AACC (Asia Afrika Cultural Centre). Namun tak satu pun dari mereka tahu, malam itu akan berubah dari euforia menjadi duka paling kelam dalam sejarah konser musik Indonesia.
Konser yang Ditunggu, Namun Tak Terkendali
Konser tersebut adalah acara peluncuran album debut BESIDE bertajuk "Against Ourselves". Di tengah gempita skena musik metal dan hardcore Bandung yang kala itu sedang menanjak, antusiasme publik luar biasa besar. Sekitar 800 hingga 1.000 orang memadati gedung yang hanya berkapasitas sekitar 400 orang. Mereka datang dari berbagai penjuru kota, bahkan dari luar Bandung, demi menyaksikan band idola mereka tampil secara langsung.
Namun, gedung yang digunakan — sebuah aula tua di kawasan Jalan Asia Afrika — tak siap menampung lautan manusia itu. Satu pintu menjadi akses masuk sekaligus keluar. Tidak ada ventilasi memadai, tidak ada sistem kontrol penonton, dan petugas keamanan pun sangat terbatas. Panitia acara, sebagian besar terdiri dari relawan komunitas, kewalahan sejak awal.
Nafas yang Menghilang
Sekitar pukul tujuh malam, ketika BESIDE naik ke atas panggung dan lagu pertama dimainkan, semangat penonton meledak. Massa bergerak rapat, tubuh saling bertubrukan dalam moshpit. Namun perlahan, udara dalam ruangan mulai terasa menipis. Suhu naik drastis. Mereka yang berada di tengah kerumunan mulai merasa sesak. Beberapa pingsan. Tapi di tengah dentuman musik dan kegaduhan, tak banyak yang menyadari keadaan mulai darurat.
Tidak ada jalur evakuasi. Tidak ada sinyal yang jelas untuk menghentikan acara. Para penonton yang panik mulai berusaha memaksa keluar. Dalam desakan itulah, korban mulai berjatuhan. Sebelas orang tak pernah keluar hidup-hidup dari gedung itu.
Sore yang semula dipenuhi adrenalin berubah menjadi malam berkabung. Ambulans datang terlambat. Kepanikan menyebar di luar gedung. Tangis dan jeritan terdengar, menggantikan gemuruh musik yang baru saja berhenti.

Duka yang Membuka Mata
Korban yang tewas adalah remaja dan pemuda berusia 15 hingga 22 tahun. Mereka pergi menonton konser dengan harapan, pulang dengan mayat yang disambut tangis keluarga. Sebagian besar meninggal karena kehabisan oksigen, beberapa karena terinjak saat berusaha menyelamatkan diri.
Penyelenggara diperiksa. Pemilik gedung dimintai keterangan. Namun tak ada satu pun yang dijatuhi hukuman pidana. Hukum tak cukup tajam untuk menelusuri rantai kelalaian yang menyebabkan sebelas nyawa terenggut.
Band BESIDE menyatakan duka mendalam. Mereka menghentikan kegiatan panggung untuk waktu yang lama. Di dalam komunitas musik underground Bandung, tragedi ini menjadi luka yang tak mudah sembuh.

Dari Abu Tragedi, Kesadaran Tumbuh
Sejak kejadian itu, kesadaran akan pentingnya keamanan dalam konser musik mulai tumbuh, meski pelan. Beberapa komunitas mandiri mulai menyusun standar keselamatan sendiri: membatasi kapasitas penonton, menyediakan jalur keluar darurat, dan mengadakan pelatihan tim keamanan sukarela.
Namun, warisan sejati dari tragedi AACC adalah pertanyaan yang tak pernah hilang: berapa nyawa lagi yang harus melayang sebelum kita serius mengutamakan keselamatan dalam budaya hiburan kita?
Tragedi AACC bukan hanya kisah tentang kesalahan teknis dan perencanaan yang buruk. Ia adalah pengingat bahwa di balik setiap panggung, ada tanggung jawab — dan di balik setiap sorak sorai, ada potensi bahaya yang tak boleh diabaikan.
Comments