top of page

ORANG TOLOL BERGUNA

Oleh Dr. Masri Sitanggang



Bangga dianugrahi jabatan dan kehormatan, namun dia hanyalah orang tolol yang dimanfaatkan. Kekuatan komunis ada pada orang tolol berguna itu. Predikat “tolol” memang tidak mengenakkan, lebih tidak enak dibanding “bodoh”. Memang tolol itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti sangat bodoh, bebal atau bodoh yang keterlaluan. Entahlah kalau dibandingkan dengan “goblok” –nya Yusril dan “dungu”-nya Rocky Gerung, mana yang lebih jelek. Yang pasti, dua sebutan terakhir ini pun memunculkan rasa sangat tak sedap di hati tertuduh meski pun, kalau disimak di KBBI, artinya lebih kurang sama saja. Itu karena kata-kata memiliki nilai rasa sendiri-sendiri. Apa lagi memang, adat dan budi Bahasa kita berbeda-beda. Di satu kelompok diangap biasa, di kelompok lain bisa menyakitkan.


Tetapi tolol, sebagaimana gelar jahiliyah kepada orang orang sebelum kerasulan Muhammad saw, bukanlah orang yang tidak faham Iptek sama sekali. Kaum Jahiliyah, alias bodoh gak ketulungan, itu ternyata hebat dalam beberapa aspek. Malah lebih hebat dari orang zaman now. Sebutlah, misalnya, di zaman Fir’aun sudah ada teknologi mengawetkan mayat. Meraka mampu membangun Piramid yang kini tercatat sebagai satu dari keajaiban dunia –yang mungkin di zaman sekarang Amerika Serikat pun belum bisa membuat tandingannya. Artinya, mereka sudah menerapkan prinsip-prinsip ilmu kimia dan fisika secara mengagumkan.


Bayangkan pula, mata uang mereka tidak pernah mengalami inflasi, tahan terhadap resesi, karena mereka membuat uang dari emas dan perak. Lah, uang di zaman modern kita ? tiap menit berkurang nilai tukarnya. Begitu juga di bidang pertanian dan seterusnya dan seterusnya. Jadi, si tolol bin Jahiliyah itu sebenarnya hebat di bidang Iptek. Untuk ukuran sekarang, mungkin si tolol itu ahli hukum, ahli politik, ahIi agama, ahli bangunan dan gelar akademiknya bisa Doktor berpangkat Profesor.

Hebatnya lagi, ternyata banyak orang modern sekarang ini menjiplak ilmu dan prilaku kaum jahiliyah. Karena itu, tidak salah Muhammad Qutb menulis buku “Jahiliyah Abad 20” yang terjemahannya terbit di tahun 80-an. Tengoklah perkara-perkara di bawah ini.


Kekerasan –sebagai instrumen melenyapkan lawan dan mempertahankan kekuasaan, sudah diterapkan bahkan jauh sebelum zaman Fir’aun. Sekarang metode ini berkembang menjadi sebuah ilmu pengetahuan tersendiri dan dipraktekan di banyak negara, terutama negara-negara komunis. Cara melenyapkan lawan, sekarang ini sudah lebih bisa dinikmati sebagi sebuah cerpen atau novel (tanpa Baswedan) yang bisa diangkat ke sinetron atau bahkan ke layar lebar. Sekenario ditulis dengan sangat memikat dan sang sutradaranya pun kawakan. Ia bisa menjadi sebuah cerita spay atau detektif yang mengasyikkan, yang sukar ditebak siapa pelaku kekerasan sesungguhnya kalau tidak nonton sampai TAMAT.


Fir’aun merasa sangat aman menjadi “tuhan” yang dapat berbuat apa dan kapan saja tanpa khawatir akan ada yang menghalangi. Orang-orang yang disebut sebagai cerdik pandai, pemuka kaum, pemuka agama, pimpinan ormas (eh, apa ada ormas waktu itu ya ?) tidak ada yang berani protes. Malah mereka membuatkan dalil untuk membenarkan apa saja tindakan Fir’aun. Semua sudah tunduk thau’an wa karhan, secara sukarela mau pun terpaksa. Malah tak sedikit di antara mereka yang berlomba untuk segera melaksanakan perintah Fir’aun.


Lucunya, sang “tuhan” malah takutnya sama anak-anak. Ia takut akan lahir anak-anak radikal yang akan menumbangkan kedudukannya. Maka, atas saran para cerdik pandai dan pemuka agama, semua ibu-ibu hamil diawasi dan dberi doktrin akan adanya ancaman terhadap kedaulatan negara. Doktrin itu memberi alasan bagi bolehnya Fir’aun, melalui orang-orang cerdik pandainya, membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir.


Fir’aun bisa ber-reinkarnasi, terlahir kembali. Menyimak kata-kata Mohammad Natsir : “Fir’aun itu menjadi Fir’aun yang mengaku tuhan, bukanlah kesalahan Fir’aun semata tetapi juga kesalahan rakyat Mesir : kenapa mereka tidak mau mengatakan “tidak” kepada Fir’aun”. Jadi, ketika para cerdik pandai dan pemimpin kaum tak lagi mampu mengatakan “tidak”, dipastikan Fir’aun terlahir lagi.


Ketakutan terhadap anak-anak, rupanya juga menjadi ciri yang tetap melekat pada Fir’aun. Cuma cara yang ditempuh sekarang sedikit dimodefikasi. Bila kelahiran tidak mungkin diawasi dan dibatasi maka kurikulum pendidikan anak, sedini mungkin, harus dipastikan tidak ada potensi perbedaan dengan penguasa. Bila perlu anak-anak itu dimasukkan ke camp konsentrasi seperti yang terjadi di Uighur. Narasinya tentu dikemas dengan apik agar menarik seperti, misalnya, “camp pendidikan karakter” untuk kemajuan negara.


Untuk menundukkan para cerdik pandai, pemuka agama dan pembangkang radikal, dipakailah resep Abu Jahal, Abu Lahab dan Abu-Abu kafir jahiliyah dahulu. Selain dengan kekerasan, intimidasi, teror dan fitnah, Abu Jahal Cs menyodorkan iming-iming tiga “ta”: harta, tahta dan wanita. Memang, Abu Jahal Cs gagal. Aqidah Umat Islam saat itu terlalu kuat untuk ditaklukkan dengan kekerasan dan bujukan. Orang-orang beriman lebih memilih mati sebagai syuhada tenimbang berbalik arah mengikuti orang-orang jahiliyah. “Letakkan matahari di tangan kananku, bulan di tangan kiriku, setapak aku tidak mundur (dari dakwah) sampai aku menang atau mati karenanya”. Kata-kata Rasulullah saw ini mewakili jawaban orang-orang beriman menghadapi intimidasi dan bujukan itu.


Tetapi setelah empat belas abad berlalu, resep Abu Jahal Cs malah menjadi sangat ampuh. Aqidah orang zaman now sudah jauh tergerus keropos di banding zamannya Abu Jahal. Banyak yang tidak sanggup menghadapi tekanan, teror dan intimidasi yang memang berat itu. Tidak sedikit pula yang terperangkap bujukan tiga “ta”. Karena itu banyaklah cerdik pandai, pemuka kaum dan pemuka agama yang nunut manut, turut patuh secara +9sukarela maupun terpaksa.


Para pemimpin komunis menggelari mereka –para cerdik pandai, pemuka kaum dan orang-orang berpengaruh-- yang bisa dimanfaatkan (untuk komunis) seperti di masa Fir’aun itu sebagai “orang tolol berguna”. Ini adalah istilah yang melecehkan alias merendahkan seseorang, yakni orang yang termakan propaganda untuk suatu tujuan yang tidak dipahaminya. Istilah ini populer semasa Perang Dingin, menggambarkan orang-orang bukan komunis yang terkecoh oleh propaganda dan manipulasi komunis.


Adalah manusiawi merasa bangga bila dianugerahi jabatan, fasilitas, kekayaan dan kehormatan –apalagi hal itu memang sudah diimpikan sejak lama. Begitulah Jhon Reed. Wartawan Amerika peliput peristiwa Revolusi Bolshevik ini sangat bangga mendedikasikan dirinya kepada komunisme. Bukunya "Ten Days That Shocked the World" dan namanya termasyur di seluruh dunia. Apalagi Negara Uni Sovyet kemudian mengangkatnya sebagai pahlawan. Ia betul-betul merasa orang terhormat.


Tetapi Jhon Reed tidak tahu bagaimana Lenin dan para pemimpin Uni Sovyet menilai orang-orang seperti dia –orang liberal Amerika yang bersimpati kepada komunisme. Andai tahu, mungkin ia akan menangis sedih atau jengkel tak berkesudahan. Mungkin juga menutup muka seumur-umur.

Lenin menyebut Jhon Reed dan orang-orang sepertinya sebagai "orang tolol berguna", useful idiot. Tolol karena tidak mengetahui diri mereka ditipu, malah bangga merasa ikut berperan (dalam menipu orang lain). Berguna, karena tindakan dan kerja mereka bermanfaat untuk kepentingan komunis.


Berkat orang-orang tolol berguna itulah komunis kuat. Karena itu, berbagai cara dilakukan untuk menjaring dan menghasilkan orang tolol berguna. Ada kalanya dengan jebakan amoral dan korupsi. Ada kalanya dengan jebakan itu tadi : iming-iming tiga “ta”. Setelah itu, Mereka disandera untuk jadi orang tolol berguna. Yang tidak terkena jebakan, diselesaikan dengan kekerasan. Makanya tidak heran kalau di negara-negara komunis terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat terdidik dan meninggalkan sisanya orang-orang tolol dan kriminal yang sudah pasti mudah dikendalikan.


Di Cina, misalnya. Tahun 1958, Mao Tsetung mempidana mati, membuang serta menjadikan budak pekerja sekira 24 ribu sarjana hukum. Lalu, posisi mereka sebagai hakim-hakim, jaksa, guru digantikan oleh kader-kader komunis yang tidak mengerti hukum. Akibatnya, berlakulah hukum revolusi yang memperkosa undang-undang. Tidak ada yang namanya Undang-undang, yang ada adalah apa yang keluar dari mulut Mao Tsetung atau kader-kader rovulusi.


Masyarakat terdidik yang dibunuhi pemerintah komunis itu, bukan tidak punya jasa sama sekali terhadap komunis. Mereka berjasa, malah banyak yang sangat berjasa. Ingatlah, misalnya, kisah kematian Voznesensky. Ia adalah anggota Polit Biro ke18 Partai Komunis Uni Sovyet yang dipandang banyak orang sebagai sosok yang sedang dipersiapkan Joseph Stalin untuk menduduki puncak pemerintahan. Jasanya luar biasa banyak untuk Stalin dan Partai Komunis Uni Sovyet. Tetapi, begitulah komunis. Anggota Polit Biro yang menjadi favorit sekali pun pada suatu hari bisa menjadi korban pengadilan; dan pada hari lain bisa ditembak mati. Voznesensky mengalaminya . Ia di “dor” mati atas tuduhan penghianatan yang sesungguhnya tak pernah terbuktikan.


Yang demikian itu sudah juga dialami banyak ulama Indonesia masa-masa menjelang 1965. Penerimaan dan pembelaan organisasi ulama terhadap faham komunis untuk bisa berdampingan dengan faham agama dalam Nasakom, tidak dapat menyelamatkan mereka dari penganiayaan dan pembunuhan oleh komunis. Karena itu Abidin dan Lopa (Bahaya Komunisme, 1982) mengingatkan kaum bergama dan golongan nasionalis bahwa mereka pun akan dihabisi, tidak akan dibiarkan hidup, apa bila Komunis telah berkuasa. Mereka hanyalah dibodohi untuk menyokong apa saja yang dicanangkan komunis. Mereka tidak lebih dari orang-orang tolol berguna yang diperlukan untuk sementara waktu saja.


Sesungguhnya masyarakat sosialis yang dicitakan komunis itu utopis. Oleh karena itu, orang yang kebelinger terhadap komunisme sehinga menjadi komunis tulen pun sesungguhnya tertipu. Mungkin dia tidak sadar bahwa dia sedang tertipu dan karenanya menjadi orang tolol berguna.

Karl Marx jelas dan tegas menyebut dirinya sebagai “materialist” dan menyebut agama itu sebagai ‘ilusioner”, candu bagi masyarakat. Candu yang memabukkan dan menghadirkan ilusi. Itulah dasarnya komunis berupaya melenyapkan agama. Para ulama –yang mengajarkan Islam apa adanya, menjadi musuh utama komunis. Sebab, Pelajaran Agama Islam apa adanya itu sudah pasti akan mempersalahkan Marxime Leninisme dan Maoisme. Ajaran komunis itu pasti tidak laku. Karena itulah Pelajaran Agama harus dikontrol melalui orang-orang tolol berguna.


Tahukah anda mengapa Marx berjuang meniadakan agama-agama ?


Jika pengikut Marx sudah percaya bahwa agama itu adalah omong kosong, maka ajaran Marx menjadi satu-satunya pegangan dalam kehidupan sosial. Dengan begitu, sosialisme-komunisme Marx menjadi agama tersendiri pula; agama satu-satunya yang diyakini kebenarannya oleh kaum komunis. Jika yang immaterial itu tidak ada, maka yang ada hanyalah material. Karena dalam konsep agama Tuhan itu immaterial –dan agama itu ilusioner-- maka Tuhan dari agama sosialisme-komunisme adalah material dan itu adalah Marx dan para petinggi komunis.

Singkatnya, inilah dialektika komunisme itu. Komunisme memusnahkan agama agar ajaran komunisme menjadi agama . Manolak Tuhan agar manusia (komunis) menyembah/mengabdi kepada pimpinan-pimpinan komunis.


Itulah sebabnya, di negara-negara komunis atau negera-negara yang terdapat partai komunis, ajaran Marx yang ditambah oleh Engles, Lenin, Stalin, Mao, muncul sebagai agama baru. Kitab sucinya adalah Manifesto Komunis. Nabinya (kalau bukan tuhannya) adalah Marx dan sahabat-sahabatnya Lenin, Stalin dan Mao. Patung mereka didirikan megah di mana-mana dan dihormati atau disembah.


Orang orang komunis itu betul-betul tolol. Begaimana tidak tolol, mereka bisa dialihkan dari menyembah Tuhan Yang Maha Segalanya kepada menyembah manusia yang tidak dapat menyelamatkan bahkan hidupnya sindiri. Lalu yang disembah patung pula, yang dibuat bergambar tokoh komunis dengan tangan manusia.


Jadi, sangat mengherankan kalau ada orang yang mengaku beragama sekaligus juga mengikuti ajaran Marx dan turunanannya Mao Tsetung. Heran juga kalau ada orang yang mengaku Pancasilais tetapi merangkul komunis, atau membiarkan komunis hidup. Kalau mereka bukan orang komunis “musang berbulu ayam”, tentulah orang-orang tolol yang berguna.


Wallahu a’lam bisshawab.


Penulis adalah Ketua Komisi di MUI Medan; Ketua Gerakan Islam Pengawal NKRI (GIP-NKRI) dan Wakil Ketua Bidang Ideologi Majelis Permusyawaratan Pribumi Indonesia (MPPI)

Comentários


bottom of page